Negeri Para Bedebah : Sang Petarung Sejati

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Judul Buku : Negeri Para Bedebah

Penulis : Tere Liye

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Cetakan Pertama : Juli 2012

Jumlah halaman : 433 hal

Reading via e-book Pustaka Utama

Di negeri para bedebah, kisah fiksi kalah seru di banding kisah nyata

Di negeri para bedebah, musang berbulu domba berkeliaran di halaman rumah

Tetapi setidaknya, kawan, di negeri para bedebah petarung sejati tidak akan pernah berkhianat

Tentu saja, ini bukan novel pertama Tere Liye yang saya jamah. Bahkan seingat saya, dulu, saya pertama kali membaca novel Tere Liye juga via e-book di notbuk yang entah saya dapatkan darimana. Dulu, waktu saya masih sekolah dan masih merasa sah-sah saja membaca lewat layar bukan dengan menyentuh buku fisiknya. Namun makin ke sini saya cukup merasa bersalah karena tergoda membaca tanpa membeli novelnya langsung.

Apakah membaca novel via e-book adalah suatu kesalahan? Duh, semoga saja tidak. Meski novel via e-book didapatkan secara cuma-cuma alias gratis tetap tidak bisa menandingi nyamannya membaca novel langsung dari bukunya. Belum lagi mata yang cepat lelah menatap layar. Bikin perih.

Intinya sebuah e-book, meski isinya sama, penulisnya sama, penerbitnya juga sama tetap saja tidak bisa mengganti posisi atau menyamai kualitas dari buku fisiknya. Iya kan? Sekali pun e-book itu gratis.

Saya pribadi juga lebih suka membaca buku langsung dengan menyentuh dan mencium baunya (saya memang doyan mencium buku, apalagi buku yang masih terbungkus plastik, hehe). Namun, mungkin karena keterbatasan saya yang tidak bisa membeli semua buku-buku yang terpajang di gramedia, termasuk semua novel karya Tere Liye sehingga saya tidak memungkiri akan tergoda bila ada yang membagikan novel atau buku-buku secara gratis meski dalam bentuk elektronik jenis apa pun.

Ya, daripada tidak pernah membacanya sama sekali atau tidak tahu akan membeli bukunya kapan sementara setiap kali ke gramedia ada banyak sekali pilihan buku-buku menggiurkan dan saya tidak mungkin dapat memiliki semuanya karena isi dompet yang pas-pasan. So, bagi saya e-book bisa jadi salah satu alternatif yang bisa memuaskan hasrat membaca buku yang tidak sempat saya beli. Saya tidak menganggap ini adalah sebuah pembenaran ya. Bukan berarti karena ada buku yang gratisan, kita jadi ogah-ogahan beli buku.

Zaman memang sudah maju, buku-buku elektronik yang kita sebut e-book bertebaran bebas di dunia maya. Sekali terhubung dengan internet, akan mudah kita dapatkan. Bahkan cukup bertanya pada eyang google. Namun sampai kapan pun kualitas dan makna sebuah buku secara fisik tidak tergantikan.

Well, saya memang telah mendonwload buku-buku elektronik yang tidak sempat saya miliki namun tidak sedikit pula buku-buku yang telah saya beli. Bahkan budget untuk membeli buku tiap bulan di gramedia pun sudah saya tetapkan bersama suami. Setiap kali berkunjung gramedia, kami pasti membawa pulang beberapa buku. Jadi saya tidak melulu membaca dan mengandalkan buku gratisan alias e-book.

Toh, novel-novel Tere Liye, mulai dari Rindu, Pulang, Tentang Kamu, Hujan, Bumi, Bulan, Matahari, Bintang dll telah saya khatamkan bukan lewar e-book. Beberapa yang saya baca adalah novel yang saya beli atau novel milik suami setelah nikah ( karena doi juga ternyata suka baca novel dan novel koleksinya jauh lebih banyak ketimbang punya saya), selebihnya dipinjamkan sama murid waktu masih ngajar, hehe.

Maka di Kamar Buku ini kalian akan menemukan buku yang saya review atau resensi tidak hanya bersumber dari buku yang dicetak langsung melainkan juga buku-buku elektronik dan saya merasa tidak perlu menjelaskannya lagi. Jika saya membaca buku tersebut dari e-book saya akan terang-terangan menuliskannya. Seperti novel Tere Liye yang baru saya tamatkan kemarin.

Hanya butuh sehari saya mengkhatamkan novel setebal 433 halaman ini via e-book di smartphone. Kebayang nggak gimana kuatnya saya menahan mata menatap layar ber-jam-jam. Ups. Semoga minusku nggak makin parah. Novel ini seperti candu yang bikin saya nggak bisa lepas dari membuka lembaran demi lembarannya dengan jempol.

Amazing. Tere Liye memang selalu bisa menghipnotis saya dengan kekuatan kata-katanya yang boleh dibilang sederhana namun menenggelamkan. Seolah menarik saya hingga tergelincir di negeri para Bedebah. Membayang saya adalah Julia, wartawan terbaik dari sebuah kantor redaksi review ekonomi yang dapat kesempatan untuk mewawancarai seorang konsultan keuangan profesional sekaligus penasihat keuangan yang konon kesibukannya melebihi kesibukan presiden. Saking sibuknya sampai-sampai Julia melakukan wawancara dengan si konsultan di pesawat dalam perjalanan London-Singapura.

Biasanya Tere Liye mengawali novelnya dengan kalimat nan sederhana yang mudah dicerna, namun di Negeri para Bedebah Tere Liye memulai dengan pembahasan yang cukup berat dan sukar dicerna. Tentang krisis ekonomi, pasar modal, rekayasa, istilah-istilah asing dan segala macamnya yang mungkin memang sulit dipahami bagi orang yang awam ekonomi. Apalagi saya memang rada buta dengan masalah ekonomi kecuali hitung-hitungan uang, hihi.

Di halaman-halaman berikutnya pun saya masih menemukan setumpuk kalimat yang agak sulit saya pahami terutama tentang masalah perbankan, politik dan segala tetek bengeknya (mungkin karena ilmu saya di bidang tersebut masih kurang kali ya jadi susah nangkepnya) namun toh pembahasan yang berat itu tidak menghentikan mata saya untuk menelusuri halaman demi halamannya hingga lembaran terakhir.

Novel ini mengingatkan saya dengan novel Pulang yang juga sedikit banyak menyinggung masalah ekonomi, hanya saja saya merasa lebih bisa menangkap kalimat-kalimat penjelasan di novel yang pemeran utamanya adalah si Bujang itu ketimbang novel ini.

Di Negeri Para Bedebah, Tere Liye menampilkan sosok Thomas yang karakternya cukup berwibawa, kharismatik, agak angkuh (itu kesan awal saya saat Julia mewawancarai Thomas) cerdas sekaligus cerdik mengelabui lawan, punya kemampuan memengaruhi orang-orang besar termasuk menguasai media dan memiliki jiwa sang petarung.

Boleh dibilang karakter Thomas di novel ini cukup perfect lah, namun dibalik karakternya yang terlihat sempurna itu ternyata Thomas pernah mengalami kejadian paling menyakitkan di masa lalu waktu umurnya masih menyentuh angka sepuluh dan dia menyimpan semua kejadian itu sebagai dendam.

Konflik novel ini mulai mencuat ketika di menit-menit penangkapan sosok yang sangat dibencinya – pemilik bank Semesta yang nyaris bangkrut, ia justru mengambil keputusan besar yang dampaknya tak main-main. Dapat merusak reputasi karir dan menjebloskannya ke dalam penjara karena nekat membawa kabur tersangka kejahatan; Om Liem, orang yang dianggapnya sebagai penyebab kematian ke dua orang tuanya.

Baru beberapa hari lalu aku ceramah panjang lebar tentang sistem keuangan dunia yang jahat dan merusak, tapi sekarang aku melarikan seorang tersangka kejahatan keuangan. Baru beberapa menit yang lalu aku masih terdaftar sebagai warga negara
yang baik, bertingkah baik-baik dan selalu taat membayar pajak,
tapi sekarang aku menjadi otak pelarian buronan besar (hal 56)

Sejak berhasil membawa kabur Om Liem dari kepungan para polisi, Thomas mulai menyusun strategi agar dapat menyelamatkan bank Semesta. Meski Thomas benci banget sama omnya itu tapi ia merasa harus menyelamatkan bank Semesta bukan semata-mata karena om Liem adalah saudara kandung ayahnya atau walau seberapa bencinya ia, mereka tetap memiliki hubungan darah yang tak kan terputus melainkan karena ia tahu dua nama penegak hukum dibalik penangkapan omnya terlibat dalam kejadian masa lalu yang menyebabkan kedua orangnya tewas terpanggang api.

Tetapi tadi malam, saat orang kepercayaan Om Liem menjemputku di hotel, pukul dua dini hari, di dalam mobil Ram menyebutkan nama petinggi kepolisian dan pejabat kejaksaan yang menyidik kasus Bank Semesta. Aku mengenali nama itu.
Nama kedua bedebah itu. Kau pernah bertanya padaku, apakah aku anak muda yang pintar, kaya, punya kekuasaan dengan kepribadian ganda? Penuh paradoks? Kau keliru, Julia. Aku
adalah anak muda yang dibakar dendam masa lalu. Jiwaku utuh.
Seperti berlian yang tidak bisa) dipecahkan. Aku selalu menunggu kesempatan ini. (hal 118)

Demi menuntaskan dendam masa lalu atas kematian orang tuanya, Thomas memanfaatkan kesempatan itu. Ia hanya punya kesempatan dua hari sebelum pemerintah memberi keputusan akan menutup atau mempertahankan bank Semesta. Namun sebelum beraksi mempengaruhi kebijakan pemerintah terhadap kasus bank Semesta, langkah pertama yang harus ia lakukan adalah melarikan Om Liem dan menyembunyikannya di tempat teraman. Setidaknya jika om Liem dibawa kabur, tidak akan ada pihak yang dapat membekukan bank, sebab untuk membekukan bank mereka butuh tanda tangan pemiliknya.

Nah, adegan Thomas melarikan Omnya itu terjadi Jumat malam sementara waktu yang ia miliki untuk menyelamatkan bank Semesta hanya sampai hari Senin sebelum pukul 08.00 tiba. Dalam jangka waktu dua hari mungkin nggak sih bank Semesta dapat diselamatkan? Mengingat kasus yang sama yang juga pernah menimpa salah satu bank di Indonesia (ingat nggak kasus bank apa?) dan penyelesaiannya itu berlarut-larut lho, tidak cukup dalam hitungan hari apalagi cuma dua hari.

Well, namanya juga cerita fiksi apa sih yang nggak mungkin, meski saya yakin banget ide novel ini tercetus dari kasus bank yang sama yang pernah terjadi di negeri ini. Nama banknya saja yang berbeda. Para aktornya juga, begitu pun dengan jalan ceritanya. Tapi saya sih curiga, ide tersebut sengaja diangkat Tere Liye sebagai bentuk kritikannya terhadap pemerintah atau pejabat-pejabat tinggi negara atau bahkan para penegak hukum yang disoroti di sini. Dari judulnya saja sudah jelas.

Seingat saya di Novel Pulang Tere Liye menyamarkan nama latarnya, tidak benar-benar menyebutkan lokasinya di kota mana, provinsi apa atau negara mana. Namun di Negeri Para Bedebah, jelas sekali Tere Liye menyebutkan nama latarnya. Indonesia. Toh, memang di negeri ini banyak para bedebah kan?

Dua hari menyelesaikan kasus bank yang nyaris kolaps di negeri nyata itu rasanya mustahil tapi di Negeri Para Bedebah, imaginasi Tere Liye ini sangat tidak terlihat kemustahilannya. Tere Liye seperti biasa, pandai membiarkan cerita novelnya mengalir dengan ritme yang mampu ia kendalikan dan membiarkan para pembaca ikut terhanyut.

Saat larut membaca novel ini saya seperti sedang menonton film action di bioskop, bahkan kalau difilmkan kayaknya keseruannya bisa deh menandingi film The Raid. Aksi dikejar-kejar polisinya itu lho, duh bikin saya ikut tegang. Takut si Thomasnya kenapa-kenapa. Apalagi jika sampai berhasil ditangkap polisi, bisa gagal total misi balas dendamnya.

Syukurnya Thomas bergabung di klub bertarung semacam klub Tinju yang anggotanya terdiri dari berbagai macam profesi, ada dokter, eksekutif muda, penulis, orang-orang pemerintah, pejabat tinggi partai, konsultan seperti dirinya dll. Bahkan ia termasuk petarung terhebat yang berhasil mengalahkan si bokser sejati klub.

Nah, ternyata dalam misinya itu, ia terhubung dengan Randy, Rudi dan Erick temannya di klub bertarung yang cukup memiliki peran penting dalam menjalankan misinya; membantunya kabur dari kejaran polisi, mempermanis laporan bank Semesta, termasuk mengatur pertemuannya dengan si Putra Mahkota.

Ada juga Maggie; staffnya yang cekatan dan patuh melaksanakan apa pun perintahnya meski kadang perlu dibujuk dengan iming-iming, Opa yang bijak, suka bercerita pengalaman masa lalunya berulang-ulang dan menularkan banyak pelajaran berharga yang ia terapkan dalam beraksi menghindari kejaran polisi, Kadek yang pintar masak dan berlayar, yang membantu menyembunyikan om Liem juga Opa dan Maggie yang terpaksa harus ikut bersembunyi karena dianggap terlibat dalam misi tersebut, dan tentu saja ada Esmeralda eh Julia, wartawan muda yang setia mendampingi aksinya, termasuk mengatur pertemuannya dengan ibu menteri, sejak ia menceritakan tentang masa lalunya yang menyakitkan.

Oh ya, ada adegan yang bikin saya tegang banget. Ketika Thomas akhirnya tertangkap. Sebelum misinya selesai, Polisi sempat memenjarakan Thomas. Sialnya saat itu ia tak punya penolong seorang pun namun dengan otak briliannya Thomas bisa melengos keluar dari penjara dengan santainya. Hanya dengan menyumpal mulut dua petugas dengan mentransfer uang sebanyak 2M. Gila, uang sebanyak itu, siapa yang nggak tergiur? Meski cuma cerita fiktif, tapi saya kok rasanya ikutan berat kehilangan uang 2M itu.

Tapi memang dasar ya si Thomas ini cerdas sekali, uang 2M yang sudah transfernya ia tarik kembali dan hanya menyisakan dua ribu rupiah di rekening dua penjaga itu wkwkwk. Memangnya bisa ya uang yang udah ditransfer ditarik kembali? Kata Thomas sih bisa, haha. Ada juga adegan yang bikin saya ngakak, yaitu saat Julia berperan sebagai Esmeralda dan Thomas ikut-ikutan menjadi Fernando demi mengelabui petugas polisi lalu lintas. Mhuahaha. Saya bacanya sambil ketawa-ketiwi lho. Lucu.

Sebagi novelis, Tere Liye pandai sekali mengubah alur yang tadinya tegang dibikin humoris. Ada selingan gitu. Jadi pembaca nggak gampang bosan malah makin terpacu bacanya. Kira-kira misi Thomas balas dendam sekaligus menyelamatkan bank Semesta berhasil nggak ya? Silakan jawab sendiri setelah menuntaskan novelnya.

Terlepas dari selamat atau tidaknya bank Semesta, sebenarnya puncak konflik novel ini lebih menekankan pada “pengkhianatan”, siapa sebenarnya dalang dibalik kematian orang tuanya Thomas. Apakah hanya dua nama itu? Atau ada pelaku lain?

Ah, lagi-lagi novel ini mengingatkan saya dengan novel Pulang yang puncak konfliknya pun memunculkan sosok musang berbulu Domba. Bedanya, saya kok tetap lebih greget ya dengan cara Tere Liye menyelesaikan konflik di novel Pulang itu ketimbang di Negeri Para Bedebah.

Barangkali karena banyak adegan di novel ini terutama yang berhubungan dengan temannya Thomas di klub Bertarung bisa saya tebak duluan. Oh pasti di Bandara saat berhadapan dengan petygas migrasi, Thomas bakal menagih janjinya si Randy. Oh saat dikepung polisi di tempat persembunyian om Liem di tempat peristirahatan Opanya, Thomas bakal dapat bantuan dari si Rudi, bahkan yang jadi pengkhianatnya pun saya bisa menebak dengan pasti.

Hanya saja, ya hanya saja pas menjelang endingnya itu saya kayak ikut dikelabui sama Thomas, hehe. Tadinya udah yakin banget si Ini yang berkhianat tapi Tere Liye mengalihkan jalan ceritanya dengan menghadirkan plot twist yang bikin saya akhirnya jadi terkecoh. Malah sampai mengira Opalah si Pengkhianatnya, padahal pengkhianatnya adalah…

Penasaraan? Yuk, yang belum baca novelnya silakan dibaca. Atau jangan-jangan saya sendiri yang telat baca. Tak apalah meski Negeri Para Bedebah ini novel keluaran enam tahun silam tapi bagi saya tetap termasuk novel baru. Novel yang baru saya baca maksudnya, hihi.

Overall, novel ini bagus dibaca untuk semua kalangan mulai dari kalangan bawah hingga atas. Novel setebal 433 halaman ini sarat dengan ilmu, mulai dari ilmu ekonomi, perbankan, politik, keuangan, berlayar sampai ilmu tanaman yang beracun juga ada lho. Ya, setidaknya kisah di novel ini menguak sedikit wawasan berpikir kita dalam menyelesaikan suatu masalah. Seperti si tokoh utama dalam novel ini yang meski memiliki dendam yang mendalam namun ia tidak serta merta membalas dendamnya dengan cara yang sama kejamnya. Ia bertarung dengan jiwa sang petarung yang pantang kalah sebelum berperang. Tidak mudah menyerah meski banyak aral yang menghadangnya. Tidak pula berlaku curang menghadapi lawan. Ia menjalankan misinya dengan memegang teguh prisip; seorang petarung sejati tidak akan pernah berkhianat.

Sadar atau tanpa disadari di lingkungan sekitar kita memang banyak musang berbulu domba berkeliaran, menusuk kita dari belakang. Di depan berlagak manis namun setelah berbalik menghujat kita habis-habisan. Mereka tertawa di atas kesedihan kita dan menangis atas kebahagiaan kita. Orang-orang yang demikian akan selalu ada. Berpura-puta bersama kita padahal hakikatnya dia adalah musuh yang terselubung. Musuh yang seolah tak tampak saking pandainya mengelabui. Bahkan sejak zaman Rasul pun “musang-musang yang berbulu Domba” itu telah ada. Mereka yang dalam Al-Qur’an di sebut sebagai orang-orang Munafik. Berpura-pura bersama kita namun ternyata ia adalah musuh berkedok muslihat. Musuh terselubung yang sebenarnya jauh lebih berbahaya daripada musuh yang jelas-jelas nyata.

Di Novel ini, kalian akan temukan sendiri jawabannya mengapa sang pengkhianat itu ada atau tepatnya mengapa seseorang yang telah diberi kepercayaan bisa berkhianat? Salah satu jawabannya, of course, seperti kata Tere Liye, karena dia bukan seorang petarung sejati.

Nah, semoga kalian juga menemukan jiwa sang petarung sejati setelah membaca novel ini. Semangat membaca. Salam Literasi.

4 stars from me for Negeri Para Bedebah

Leave a comment